Perwatabatam
Lakon
hidup memang tak selalu berjalan indah. Terkadang episodenya bisa sangat
mengiris hati, penuh perjuangan, kesedihan, dan penderitaan. Tak semua orang
beruntung dikaruniai kehidupan yang layak. Selalu ada sebagian orang yang
merasakan getir berjuang mencari sesuap nasi demi menyambung hidup. Ya, hanya
sesuap nasi. Sesederhana itu saja. Jangan dulu bicara tempat tinggal yang
nyaman, bahkan harus keras berpikir besok makan apa.
Seperti
malam itu, saya berniat keluar mencari jajanan di warung tenda tak jauh dari
rumah. Pilihan jatuh pada warung Indomie. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul
22 malam. Sudah lumayan larut. Saat menunggu pesanan, tiba-tiba saya dicolek
oleh tangan mungil dari arah belakang saya. Saya terkejut demi melihat seoarang
bocah kecil berjilbab. Saya taksir usianya hampir seumur anak bungsu saya
bahkan sepertinya lebih kecil lagi. Ia menadahkan tangannya memberi isyarat
meminta sedekah pada saya. Sambil merogoh kantong mencari uang, sayapun tak
tahan untuk tak bertanya. Kamu sama siapa? sendiri bu, sahutnya. Rumahnya
dimana? di Kampung Jawa dekat stasiun Pasar Minggu. Udah sekolah belum?dia
menggeleng. Memang berapa usiamu dek? 5 tahun bu. Hmm…saya
terkesima mendengar jawaban polosnya. Masya Allah 5 tahun. Baru saja lewat
kategori balita.
Setelah
memberinya uang, saya sempat mengajaknya makan, tapi ia menolak. Dan saya
nasehati ia, untuk segera pulang, karena hari sudah sangat larut. Iba saya
melihatnya, dari warung tenda tempat saya makan, saya lihat dia masih
menghampiri warung-warung lain ke arah jalan menuju ia pulang. Mata sayapun tak
lepas mengikuti sosok tubuh kecilnya berjalan perlahan ke arah jalan pulang,
sampai bayangannya menghilang di kejauhan. Dan ia memang benar-benar sendiri
selarut itu.
inilah wajah polosnya yg saya lupa
bertanya siapa namanya (dok. pribadi)
Hikss…sungguh
saya pilu dan bersedih melihat nasib bocah kecil itu. Teringat saya pada anak
saya sendiri. Saya sampai terpikir ingin membuntutinya. Perlu diketahui, jarak
warung tenda dengan alamat rumah yang dia sebut berkisar 1 kilometeran. Saya
sempat membidiknya saat ia benar-benar di hadapan saya. Tatapannya begitu lugu.
Begitu juga saat dia berdiri memantung sambil melihat orang-orang yang sedang
makan. Tak kurang saya lihat begitu banyak orang yang iba dan mengajak dia
bicara sambil mengusap kepalanya dan setelahnya memberi uang.
mengharap belas kasih orang lain
untuk mau memberi (dok.pribadi)
berdiri mematung menanti diberi
sedekah sambil matanya tak lepas memandang orang-orang yang sedang menikmati
makanannya (dok.pribadi)
Saya tak habis pikir. Anak sekecil
itu sudah harus mengais rizki di larut malamnya Jakarta, yang kebetulan saat
itu berhawa sangat dingin karena terus menerus turun hujan. Sungguh memilukan.
Namun itulah sebagian potret buram kehidupan Jakarta. Kerasnya tak memandang
usia. Bahkan bocah tak berdosapun harus ikut menanggungnya. Satu waktu juga,
pernah pada larut malam saya mendapati bocah-bocah kecil masih harus berdiri
hujan-hujanan di perempatan lampu merah, meminta sedekah pada kendaraan yang
lalu lalang. Sayang saat itu saya tak sempat membidiknya.
Ironisnya, yang seperti ini mungkin
amat sangat banyak di Jakarta. Tak hanya terjadi pada satu dua anak. Bahkan
boleh jadi masyarakat kota memandang semua ini dengan perasaan biasa, saking
pemandangan serupa ini terlalu banyak berseliweran di hadapan mata setiap
harinya. Terlebih saat mereka mengemis atas sepengetahuan orang dewasa yang
mengawasi mereka dari kejauhan. Eksploitasi sadis. Membuat masyarakat semakin
apatis. Kepekaanpun perlahan terkikis.
Hanya bisa membatin, tanggung jawab
siapakah mereka. Kemana orang tua mereka? Kemana pemerintah? Masihkah berlaku
yang namanya UU Perlindungan Anak?
Ya Allah…semoga masih ada secercah
harapan bagi masa depannya. Entah dengan cara apa tanganMu bekerja…Aamiinn Ya
Rob…
Posting Komentar