Image and video hosting by TinyPic

Bocah 5 Tahun Berjibaku Mengais Rizki di Gelapnya Malam Jakarta



Perwatabatam

Lakon hidup memang tak selalu berjalan indah. Terkadang episodenya bisa sangat mengiris hati, penuh perjuangan, kesedihan, dan penderitaan. Tak semua orang beruntung dikaruniai kehidupan yang layak. Selalu ada sebagian orang yang merasakan getir berjuang mencari sesuap nasi demi menyambung hidup. Ya, hanya sesuap nasi. Sesederhana itu saja. Jangan dulu bicara tempat tinggal yang nyaman, bahkan harus keras berpikir besok makan apa.
Seperti malam itu, saya berniat keluar mencari jajanan di warung tenda tak jauh dari rumah. Pilihan jatuh pada warung Indomie. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 22 malam. Sudah lumayan larut. Saat menunggu pesanan, tiba-tiba saya dicolek oleh tangan mungil dari arah belakang saya. Saya terkejut demi melihat seoarang bocah kecil berjilbab. Saya taksir usianya hampir seumur anak bungsu saya bahkan sepertinya lebih kecil lagi. Ia menadahkan tangannya memberi isyarat meminta sedekah pada saya. Sambil merogoh kantong mencari uang, sayapun tak tahan untuk tak bertanya. Kamu sama siapa? sendiri bu, sahutnya. Rumahnya dimana? di Kampung Jawa dekat stasiun Pasar Minggu. Udah sekolah belum?dia menggeleng. Memang berapa usiamu dek? 5 tahun bu. Hmm…saya terkesima mendengar jawaban polosnya. Masya Allah 5 tahun. Baru saja lewat kategori balita.
Setelah memberinya uang, saya sempat mengajaknya makan, tapi ia menolak. Dan saya nasehati ia, untuk segera pulang, karena hari sudah sangat larut. Iba saya melihatnya, dari warung tenda tempat saya makan, saya lihat dia masih menghampiri warung-warung lain ke arah jalan menuju ia pulang. Mata sayapun tak lepas mengikuti sosok tubuh kecilnya berjalan perlahan ke arah jalan pulang, sampai bayangannya menghilang di kejauhan. Dan ia memang benar-benar sendiri selarut itu.

13494676271152892963
inilah wajah polosnya yg saya lupa bertanya siapa namanya (dok. pribadi)

Hikss…sungguh saya pilu dan bersedih melihat nasib bocah kecil itu. Teringat saya pada anak saya sendiri. Saya sampai terpikir ingin membuntutinya. Perlu diketahui, jarak warung tenda dengan alamat rumah yang dia sebut berkisar 1 kilometeran. Saya sempat membidiknya saat ia benar-benar di hadapan saya. Tatapannya begitu lugu. Begitu juga saat dia berdiri memantung sambil melihat orang-orang yang sedang makan. Tak kurang saya lihat begitu banyak orang yang iba dan mengajak dia bicara sambil mengusap kepalanya dan setelahnya memberi uang.

 1349467697324814762
mengharap belas kasih orang lain untuk mau memberi (dok.pribadi)

1349467886772225342

berdiri mematung menanti diberi sedekah sambil matanya tak lepas memandang orang-orang yang sedang menikmati makanannya (dok.pribadi)

Saya tak habis pikir. Anak sekecil itu sudah harus mengais rizki di larut malamnya Jakarta, yang kebetulan saat itu berhawa sangat dingin karena terus menerus turun hujan. Sungguh memilukan. Namun itulah sebagian potret buram kehidupan Jakarta. Kerasnya tak memandang usia. Bahkan bocah tak berdosapun harus ikut menanggungnya. Satu waktu juga, pernah pada larut malam saya mendapati bocah-bocah kecil masih harus berdiri hujan-hujanan di perempatan lampu merah, meminta sedekah pada kendaraan yang lalu lalang. Sayang saat itu saya tak sempat membidiknya.
Ironisnya, yang seperti ini mungkin amat sangat banyak di Jakarta. Tak hanya terjadi pada satu dua anak. Bahkan boleh jadi masyarakat kota memandang semua ini dengan perasaan biasa, saking pemandangan serupa ini terlalu banyak berseliweran di hadapan mata setiap harinya. Terlebih saat mereka mengemis atas sepengetahuan orang dewasa yang mengawasi mereka dari kejauhan. Eksploitasi sadis. Membuat masyarakat semakin apatis. Kepekaanpun perlahan terkikis.
Hanya bisa membatin, tanggung jawab siapakah mereka. Kemana orang tua mereka? Kemana pemerintah? Masihkah berlaku yang namanya UU Perlindungan Anak?
Ya Allah…semoga masih ada secercah harapan bagi masa depannya. Entah dengan cara apa tanganMu bekerja…Aamiinn Ya Rob…


0 Responses

Posting Komentar

ngukus ngukus ngukus