Menurut adat, Pangulu atau Ninik Mamak itu sama, tidak bertinggi
berendah, duduk sahamparan/duduak samo randah, kok tagak samo tinggi.
Untuk pengetahuan kita, dibawah ini diutarakan serba sedikit mengenai hal diatas, bak kato nan tuo-tuo :
Kok kurang tukuak manukuak dan kok singkek uleh mauleh, mudah-mudahan
bermamfaat bagi sanak sudaro sarato anak kamanakan nan alun tahu.
1. Sebelum Kemerdekaan
Setiap pribadi dari Datuk atau Pangulu, sedapat-dapatnya harus bertempat tinggal/berdomisili di kampung.
Gunanya ialah supaya beliau selalu melihat-lihat dan atau mengawasi anak
kemenakan yang berada dibawah naungannya. Disamping itu dimaksudkan
pula agar beliau menyempatkan diri melakukan sholat Jum'at di kampung
Ketentuan ini juga berlaku bagi para Datuk/Pangulu yang tidak kimpoi/belum pernah berumah tangga di kampung.
Pada kesempatan bertemu muka dengan orang kampung/jemaah masjid yang
lazimnya dibacakan pengumuman-pengumuman atau keputusan-keputusan yang
telah diambil oleh Kerapatan Adat/Musyawarah Datuk/Pangulu di Balairung,
misalnya menyangkut pajak nagari, aturan kerja bakti/gotong royong
memperbaiki banda/selokan, irigasi, jalan desa, hukuman/teguran kepada
pembangkang-pembangkang adat dstnya.
Biasanya sekembali dari sholat jum'at di masjid beliau mampir di
kediaman kemenakannya, dan ini diatur secara bergilir, kalau minggu ini
di rumah si a, maka minggu yang akan datang ke rumah si B, dan begitulah
seterusnya. Ketentuan ini merupakan keharusan bagi setiap Datuk/Pangulu
Minangkabau yang bersuku Ibu/Matriarchaat (Matrilinial).
Kunjungan ke rumah kemenakan ini dimaksudkan antara lain untuk
menyampaikan kepada mereka maklumat/pengumuman yang barusan saja di
lewakan (disiarkan) di masjid.
Disamping itu untuk lebih memperat hubungan antara sang mamak dan
kemenakan. Pada kesempatan seperti itu ditanyakan kondisi si kemenakan
seperti kesehatan mereka, keadaan ekonominya dan lain-lain. Adalah
kewajiban mamak untuk waktu siang maliek-liek dan kok malam
manadanga-dangakan, sebab bak bunyi pepatah petitih adat :
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka alua jo patuik
Kamanakan manyambah lahia
Mamak manyambah bathin
Tidak jarang terjadi justru pada siang Jum'at itu pula kesempatan bagi
kaum Ibu menemui Angku Kadhi guna melaporkan segala sesuatu yang
menyangkut rumah tangga, sesuai dengan isi Taqlik Nikah. Karena mamak
yang bersangkutan hadir, maka Tuan Kadhi lansung berembuk dan memecahkan
persoalan tesebut, Tuan kadhi tak akan berani memutuskan segala
sesuatau yang secara sepihak tanpa melalui perundingan dengan Ninik
Mamak, satu dan lain, karena berpegang teguh kepada Undang-undang tak
tertulis : “Rumah ba mamak/tungganai dan Kampuang ba urang Tuo, kok hati
samo dicacah, hati gajah samo di lapah.
Selanjutnya, supayo nak duo pantun sairiang :
Kok elok samo dipakai, tapi kok buruak tasuo dibuang jo etongan.
Landasan untuk semuanya itu adalah Tali Bapilin Tigo, yakni Adat, Agamo
dan Pemerintahan.
2. Setelah Kemerdekaan
Begitu revolusi pecah, maka teori adat seperti di uraikan diatas berubah
pula, Para Datuk/Pangulu pada ke empat nagari banyak pergi merantau,
sementara Datuk/Pangulu yang baru diangkatpun tidak jarang ikut-ikutan
meninggalkan kampung halaman. Menurut pengamatan di lapangan tidak lebih
40% dari jumlah Datuk/Pangulu yang tetap bertahan di kampung, sementara
yang 60% berada diluar kampung asalnya. (Masalahnya tentu lebih banyak
disebabkan oleh ekonomi).
Merisaukan memang, namun demikianlah kenyataan kini, “Kuek (Kuat) sapik karano jari dan kuek kampo karano minyak".
Mamanda Datuk/Pangulu merasa kurang tanggung jawabnya lagi untuk
menyilau-nyilau kamanakan. Lalu menanyakan beberapa orang anak sekarang,
tanah perumahan nan disinan/situ baa kini, kemudian menyisiasati
kamanakan nan di anu dan mereka yang telah cukup umur untuk dijodohkan
dan sebagainya.
Diperparah lagi mengenai hak jual tanah serta menggadai yang sudah
tidak perlu melalui musyawarah mufakat. Peranan Pangulu/Ninik Mamak yang
dulu demikian besar, kini sudah tidak kedengaran lagi. Padahal
ketentuan itu dimaksudkan untuk membendung kesewenang-wenangan sehingga
anak kemenakan terpelihara dari watak “basihabih/basitandeh" alias main
jual serta main sikat.
Seperti diketahui, seorang baru/boleh dibenarkan menggadai dan menjual
apabila dijumpai tiga perkara yang dapat mendatangkan â€Ëœaib
keluarga, yaitu :
a. Rumah Gadang katirisan
b. Gadih gadang (dewasa) tak berlaki (bersuami)
c. Mayat tabujua (terbujur) ditengah rumah.
Kalau pada suatu kaum kedapatan salah satu dari yang tiga tersebut ,
barulah dapat dilakukan Rumah Gadang Tahan rajok dan kabau Gadang Tahan
Tariak. Artinya kalau sudah sangat terpaksa dan tidak bisa saling
tenggang lagi.
Lalu bagaimana kini ? Angku-angku datuak/Pangulu yang tergolong Pangulu
Tiga Zaman sudah sangat langka, boleh dihitung dengan jari banyaknya.
Barangkali bukanlah manyaruangkan baju sampik sembari bernostalgia
sekali-sekali kita menoleh ke belakang ke saat, dimana adat itu memang
tak lekang di panas dan tak lapuak dek hujan untuk mengingat-ingat jasa
para pendahulu kita (Ninik Mamak) yang demikian beribawa, tidak hanya
terhadap anak kemenakan (didalam) akan tetapi juga keluar (terhadap
pemerintah, sekalipun pemerintah asing). Ada undang adat mengatakan :
“Nak barundiang dalam barih".
Akankah masa-masa bahagia dimana anak kemenakan merasa terlindungi itu dapat kembali lagi dialam merdeka ini ?
Kendatipun Ninik Mamak/Pangulu ada jauh berdomisili jauh di rantau,
namun mentalitas terhadap kemenakan di kampung tidak berubah, artinya
senantiasa memperhatikan kemenakan tersebut. Dan hal ini dilakukan
melalui alat komunikasi mutakhir, telepon, surat dan pesawat terbang,
yang menyebabkan hubungan dan komunikasi lebih cepat.
Sebaliknya kalau Ninik Mamak/Pangulu itu bertempat tinggal di kampung
halaman, akan tetapi mentalitas dan perhatiannya terhadap kemenakan
tidak ada, maka ia “basibanam saja di rumah istrinya", artinya perhatian
tidak ada sama sekali.
Yang menjadi pokok utama adalah mentalitas Ninik Mamak/Pangulu terhadap
kemenakan, jauh dan dekat tidak menjadi soal di zaman sekarang dengan
alat serba mutakhir kemana saja dekat dan cepat.
Sumber:
www.cimbuak.net